Mempelajari Ilmu Laduni dengan Mukasyafah dan Musyahadah

Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya. Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.

Hakikat Ilmu Laduni

Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.

Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.

Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)

Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)

Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)

Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.


Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat

Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur -seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)

Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)

Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)

Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)

Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.

Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya

1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:

وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)

Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).

Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:

كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah berfirman (artinya):

“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)

Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya): “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)

Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ

“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)

Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.

Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul shalallallahu’alaihi wasallam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun e tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.

“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)

Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya: “Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)

2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:

إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر

“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada di umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.

Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah e: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)

Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).

Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.

HADITS-HADITS DHO’IF DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT

Hadits Ali bin Abi Thalib:

عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ

“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.

Keterangan:

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)

SUMBER :

http://kaahil.wordpress.com/2010/06/20/mengenal-ilmu-kasyafilmu-laduni-rijalul-ghaib-ilmu-batin-wali-wali-atau-gus-gus-itu-beda-tingkatan-dengan-kita-mereka-sudah-sampai-tingkatan-ma%E2%80%99rifat-yang-tidak-boleh-ditimbang-dengan/

http://www.assalafy.org/mahad/?p=96

Istighfar Para Malaikat Untuk Orang Beriman

Sungguh beruntung orang beriman. Diamnya pun kadang mendatangkan istighfar. Saat ia tidur, ada yang beristighfar untuknya. Para Malaikat, makhluk yang senantiasa taat, beristighfar untuk orang-orang beriman.

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

 

Para Malaikat yang memikul ‘Arsy dan di sekitarnya bertasbih memuji Tuhan mereka dan beriman kepadaNya, serta memohon ampunan bagi orang-orang yang beriman seraya berkata: Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmuMu meliputi segala sesuatu. Ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalanMu. Peliharalah mereka dari adzab neraka (Q.S Ghafir/mukmin:7)

Para Malaikat itupun juga mendoakan kenikmatan surga bagi orang beriman serta orangtua, istri, dan keturunannya

رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (8) وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (9)

Wahai Tuhan kami, masukkanlah mereka (orang-orang beriman) ke dalam surga ‘Adn yang Engkau janjikan bersama dengan ayah-ayah, istri, dan keturunan mereka yang sholih. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Peliharalah mereka dari keburukan-keburukan. Barangsiapa yang Engkau pelihara dari keburukan pada hari itu (hari kiamat) maka sesungguhnya ia telah mendapat rahmat dariMu, yang demikian itu adalah keberuntungan yang agung (Q.S Ghafir/Mukmin: 8-9)

 

Orang-orang yang akan mendapatkan doa Malaikat tersebut adalah :

(1)  Orang yang beriman

(2)  Bertaubat kepada Allah

(3)  Mengikuti jalan Allah : mengikuti Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam

 

Istighfar Para Malaikat untuk Orang-orang yang Belum Beranjak dari Tempat Sholatnya

 

Para Malaikat juga senantiasa beristighfar dan memohonkan rahmat kepada Allah untuk orang-orang yang belum beranjak dari tempat sholatnya.

وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

dan para Malaikat bersholawat (mendoakan) seseorang yang masih berada di tempat sholatnya. Malaikat itu berdoa: “Ya Allah rahmatilah ia, Ya Allah ampunilah ia, Ya Allah terimalah taubatnya”. Selama seseorang itu tidak mengganggu orang lain dan selama belum berhadats (H.R alBukhari dan Muslim)

 

Diamnya seseorang di tempat duduk seusai sholat berjamaah di masjid berbuah istighfar dari para Malaikat. Ya, sekedar diamnya saja. Apalagi jika ia mengisi waktu itu dengan dzikir-dzikir yang disunnahkan Nabi. Tapi, hal itu terjadi selama orang tersebut tidak mengganggu orang lain dan selama belum berhadats (belum batal wudhu’nya).

Ibnu Baththol berkata: Barangsiapa yang ingin dosanya diampuni tanpa capek hendaknya mempergunakan kesempatan berada di tempat duduk sholatnya selesai sholat untuk mendapatkan banyak doa dan istighfar dari para Malaikat. Dalam kondisi seperti sangat besar peluang doa mereka dikabulkan (Tuhfatul Ahwadzi (2/245))

 

Istighfar Para Malaikat untuk Orang yang Menjenguk Orang Sakit

 

مَا مِنْ رَجُلٍ يَعُودُ مَرِيضًا مُمْسِيًا إِلَّا خَرَجَ مَعَهُ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ حَتَّى يُصْبِحَ وَكَانَ لَهُ خَرِيفٌ فِي الْجَنَّةِ وَمَنْ أَتَاهُ مُصْبِحًا خَرَجَ مَعَهُ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَكَانَ لَهُ خَرِيفٌ فِي الْجَنَّةِ

Tidaklah seseorang menjenguk orang sakit pada sore (malam) hari kecuali 70 ribu Malaikat keluar beristighfar untuknya sampai pagi hari dan ia berada di taman surga. Barangsiapa yang menjenguknya di waktu pagi 70 ribu Malaikat akan keluar beristighfar untuknya sampai sore (malam) hari dan ia berada di taman surga (H.R Abu Dawud, atTirmidzi)

Hadits tersebut menunjukkan keutamaan menjenguk saudara muslim yang sakit. Jika ia menjenguk di awal pagi, istighfar dari para Malaikat itu lebih lama ia dapatkan dibandingkan di akhir siang. Demikian juga perbandingan menjenguk di waktu awal malam dengan di akhirnya.

Oleh Ustadz Kharisman

(dinukil dari Buku “Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat karya Abu Utsman Kharisman hal 61-64)

Sumber : http://www.salafy.or.id/2012/05/25/istighfar-para-malaikat-untuk-orang-beriman/

Menyelisik Peristiwa Isra’ Mi’raj

Salah satu prinsip aqidah dalam Islam adalah mengimani peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Isra’ adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Malaikat Jibril pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Perjalanan sejauh ini ditempuh oleh beliau dengan mengendarai Buraq, sejenis hewan yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai). Dengan kekuasaan Allah ta’ala, hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang.

Adapun mi’raj adalah peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari bumi menuju Sidratul Muntaha, untuk kemudian berjumpa dengan Allah Yang Maha Tinggi dan menerima kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.

Sebagian orang beranggapan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada waktu yang berbeda, Isra’ pada satu malam tertentu, dan Mi’raj pada malam yang lain. Namun yang benar adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada satu malam yang sama. Demikian yang diungkapkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah. Keterangan beliau ini dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dengan mengatakan: “Apa yang diungkapkan oleh beliau (Al-Baihaqi) ini adalah yang benar, tidak ada sedikitpun keraguan padanya.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Banyak riwayat dari hadits yang menyebutkan tentang kisah perjalanan yang merupakan salah satu mu’jizat dan tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Masing-masing riwayat tersebut saling melengkapi satu dengan yang lain. Berikut ini, akan disebutkan dari riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahihnya (hadits no. 162).

Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Didatangkan kepadaku Buraq (ia adalah seekor binatang yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai), hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang). Akupun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, kemudian aku tambatkan hewan tersebut di sebuah tali (yang terdapat di pintu masjid Baitul Maqdis). Lalu aku memasuki masjid dan mengerjakan shalat dua raka’at. Setelah itu, aku keluar dan Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dengan membawa sebuah bejana yang berisi khamr dan sebuah bejana yang berisi susu. Akupun memilih susu. Kata Jibril ‘alaihissalam: ‘Engkau telah memilih fithrah.’

Kemudian kami naik menuju langit, lalu Jibril meminta (kepada malaikat penjaga pintu langit) untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit, dan akupun berjumpa dengan Adam, diapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.

Kemudian kami naik menuju langit kedua, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan dua anak dari bibi[1], yaitu ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya shalawatullahi ‘alaihima, mereka berduapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.

Kemudian kami naik menuju langit ketiga, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Yusuf shallallahu ‘alaihi wasallam, dia adalah seorang yang dikaruniai setengah dari ketampanan, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.

Kemudian kami naik menuju langit keempat, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Idris, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Allah ‘azza wajalla berfirman tentangnya:

وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا

“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 57)

Kemudian kami naik menuju langit kelima, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Harun shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.

Kemudian kami naik menuju langit keenam, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.

Kemudian kami naik menuju langit ketujuh, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Ibrahim shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyandarkan punggungnya di Al-Baitul Ma’mur, sebuah tempat yang setiap harinya ada 70.000 malaikat yang memasukinya, dan para malaikat yang sudah memasukinya tadi tidak akan kembali lagi.

Kemudian aku dibawa menuju Sidratul Muntaha[2], yang daunnya seperti telinga gajah dan buah-buahannya seperti guci yang besar. Tatkala ketetapan Allah datang menyelimutinya, berubahlah Sidratul Muntaha itu. Tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang mampu untuk menggambarkan keadaannya disebabkan sangat indahnya.

Allah pun mewahyukan kepadaku dengan memerintahkan kepadaku shalat 50 waktu sehari semalam. Aku pun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia pun bertanya: ‘Apa yang diwajibkan Rabbmu kepada umatmu?’ Aku pun menjawab: ‘Shalat 50 waktu.’ Musa berkata: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah keringanan kepada-Nya karena umatmu tidak akan sanggup memenuhi kewajiban ini, sungguh aku telah menguji Bani Israil (ternyata mereka tidak sanggup).

Aku pun kembali kepada Rabbku dan aku memohon: ‘Wahai Rabbku, berikan keringanan kepada umatku.’ Maka Allah pun menguranginya sebanyak lima waktu. Kemudian aku kembali menjumpai Musa dan aku katakana kepadanya: ‘Allah telah mengurangi sebanyak lima waktu.’ Namun Musa tetap mengatakan: ‘Sesungguhnya umatmu belum mampu memenuhi kewajiban ini, kembalilah kepada Rabbmu dan mohonlah keringanan kepada-Nya.

Terus menerus aku bolak-balik antara Rabbku tabaraka wata’ala dengan Musa ‘alaihissalam sampai Allah menyatakan: ‘Wahai Muhammad, kewajiban shalat itu sebanyak lima waktu sehari semalam, setiap shalat bernilai sepuluh (kebaikan), sehingga nilai keseluruhan dari lima waktu shalat adalah sebanyak 50 waktu shalat. Barangsiapa yang berniat untuk melakukan satu kebaikan namun dia belum mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Dan jika dia mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan kejelekan namun belum mengerjakannya, maka tidak akan dicatat kejelekan untuknya sedikitpun, dan jika mengerjakan kejelekan itu, maka akan dicatat baginya satu kejelekan.

Akupun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku kabarkan tentang apa yang telah aku alami. Maka Musa mengatakan: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah kepada-Nya keringanan. Aku katakan kepadanya: ‘Sungguh aku telah kembali kepada Rabbku sampai aku merasa malu kepada-Nya.”

 

Isra’ dan Mi’raj dengan Ruh dan Jasad Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

Sebagian kalangan yang lebih mengedepankan akal dan logikanya dalam memahami agama ini -daripada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah- berupaya untuk mengingkari terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Kalaupun benar peristiwa tersebut terjadi, maka itu hanya mimpi atau hanya ruh beliau saja, tidak mungkin dengan jasad fisik beliau. Menurut mereka, tidak masuk akal perjalanan sejauh itu hanya ditempuh selama satu malam. Sangat jauhnya jarak antara Masjidil Haram dengan Masjidil Aqsha, kemudian ditambah jarak antara bumi dan langit, tentunya membutuhkan perjalanan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sehingga tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menempuhnya dengan jasad beliau. Sebuah benda yang paling keras sekalipun, kalau bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka benda tersebut bisa meleleh, apalagi jasad seorang manusia. Ini tidak masuk akal, kata mereka.

Maka kita katakan: Benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu tidak masuk akal, yakni akal yang berpenyakit, akalnya orang-orang yang di hatinya terdapat bibit penyimpangan dan kesesatan dari agama yang lurus ini.

Sungguh akal yang sehat itu justru menerima dengan penuh ketundukan dan keyakinan setiap berita dalam Al-Qur’an maupun hadits. Akal yang sehat menyatakan bahwa Allah ta’ala Maha Mampu atas segalanya. Kalau Allah berkehendak, Allah pun mampu untuk menciptakan kejadian luar biasa yang lebih menakjubkan daripada peristiwa Isra’ Mi’raj pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Ayat Al-Qur’an yang mengabadikan peristiwa besar ini, yaitu firman Allah ta’ala:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Isra’: 1)

menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah benar adanya dan dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau, bukan ruh saja atau mimpi saja. Berikut argumentasinya:

  1. Kalimat tasbih (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى …). Sebagaimana yang sudah dikenal di kalangan umat Islam, bahwa kalimat tasbih ini juga sering digunakan ketika melihat atau mendengar peristiwa besar dan menakjubkan. Kalau Isra’ dan juga Mi’raj ini dilakukan dalam mimpi beliau saja, maka ini bukanlah suatu peristiwa besar. Dalam mimpi, seorang manusia bisa saja mengalami kejadian aneh maupun peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.

  2. Kalimat (بِعَبْدِهِ), yang berarti hamba-Nya. Kalimat عبد / hamba, bermakna sebuah ungkapan yang menunjukkan berkumpulnya antara ruh dan jasad, sebagaimana yang sudah dikenal dalam bahasa Arab.

  • Adapun peristiwa Mi’raj, Allah subhanahu wata’ala telah abadikan dalam Al-Qur’an di awal-awal surat An-Najm. Pada ayat ke-17:

    “مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَاطَغَى

    “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (An-Najm: 17)

    juga merupakan argumentasi kuat yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi dan dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau. Hal ini ditunjukkan pada kata الْبَصَرُ (yang berarti penglihatan, maksudnya penglihatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), karena kata الْبَصَرُ adalah sebuah ungkapan yang bermakna alat penglihatan dari dzat (jasad), bukan dari ruh.

    Argumen lain yang menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau adalah dalam ayat-Nya:

    وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآَنِ

    “Dan Kami tidak menjadikan ru’ya[3] yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an.”

    (Al-Isra’: 60)

    Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan makna ru’ya pada ayat di atas adalah pemandangan yang diperlihatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada peristiwa Isra’ ke Baitul Maqdis, adapun pohon kayu yang terkutuk adalah pohon Zaqqum sebagaimana dalam surat Ash-Shaffat ayat 62 sampai 65. (HR. Al-Bukhari, no. 3599).

    Sebagiamana ayat di atas, peristiwa yang dilihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan fitnah (ujian) bagi manusia, siapa yang membenarkannya dan siapa saja yang mendustakannya. Seandainya peristiwa seperti itu dialami dalam mimpi, maka tidak akan menjadi ujian bagi mereka. Bisa jadi semua orang -termasuk musyrikin Quraisy- akan percaya dan membenarkannya, karena -sebagaimana yang sudah disebutkan di atas- bahwa siapapun bisa saja bermimpi mengalami kejadian aneh atau peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.

    (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Adhwa-ul Bayan).

    Sebagian pihak yang tidak mengimani bahwa peristiwa Isra Mi’raj dengan ruh dan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdalil dengan adanya salah satu riwayat dalam Shahih Muslim yang menyebutkan tentang peristiwa Isra Mi’raj beliau, dan disebutkan di dalamnya:

    وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

    “Dan beliau sedang tidur di Masjidil Haram.”

    Kata mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa beliau mengalami peristiwa ini dalam mimpi saja karena ketika itu beliau sedang tidur. Kalau kita mengkaji dengan seksama kitab Syarh (penjelasan) Shahih Muslim yang ditulis oleh Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah, maka kita akan jumpai keterangan beliau dengan menukil perkataan ulama sebelumnya tentang riwayat tersebut. Dan setelah dipelajari, maka kesimpulan dari yang disebutkan oleh beliau adalah di antaranya:

    1. Riwayat tersebut telah diingkari oleh para ulama[4].

    2. Para rawi hadits ini dari kalangan huffazh mutqinin dan para imam yang terkenal tidak ada satu pun yang menyebutkan riwayat dengan lafazh di atas.

    3. Bisa jadi tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu adalah saat datangnya malaikat kepada beliau. Adapun setelah itu, beliau bangun dan kemudian mengalami peristiwa yang sangat menakjubkan tersebut. Konteks hadits yang menyebutkan kisah ini tidak menunjukkan bahwa beliau ketika itu sedang tidur.

    4. Yang benar adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami peristiwa Isra’ dengan jasad beliau. Wallahu a’lam.

     

    [1]

    Maksudnya adalah ibu salah seorang di antara keduanya adalah bibi yang lain, demikian sebaliknya, yakni ibu ‘Isa merupakan bibi Yahya, dan ibu Yahya adalah bibi ‘Isa ‘alaihimush shalatu wassalam.

    [2] Secara bahasa Sidratul Muntaha artinya pohon penghabisan. Ibnu Abbas dan para mufassirin menerangkan bahwa dinamakan pohon tersebut dengan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berhenti sampai di tempat ini, tidak ada seorangpun yang sanggup mencapainya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa dinamakannya Sidratul Muntaha karena dia adalah tempat berhentinya segala sesuatu yang turun dari atasnya maupun yang naik dari arah bawahnya, berupa urusan Allah ta’ala (wahyu dan ketetapan-Nya). Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim).

    [3] Kata ru’ya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mimpi. Namun dalam ayat ini, ru’ya bermakna pemandangan di alam nyata, bukan di alam mimpi sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Abdullah bin Abbas setelah ini.

    [4] Hal ini disebabkan karena kesalahan salah satu rawi dalam meriwayatkan hadits atau mungkin ada sebab lain wallahu a’lam.

     

  • Pembagian Kitab Catatan Amal

    Dengan hikmah dan keadilan yang sempurna, Allah Ta’ala memerintah sebagian malaikat-Nya untuk mencatat seluruh amalan hamba selama hidup di dunia, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir maupun batin, yang dilakukan terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.

    Semua itu akan dicatat oleh para malaikat pencatat yang mulia, sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an:

    كَلاَّ بَلْ تُكَذّبُونَ بِالدّينِ- وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَـفِظِينَ- كِرَاماً كَـتِبِينَ- يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

    “Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan Hari Pembalasan. Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (perbuatanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (amalan-amalanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Infithar: 9—12)

     

     

     

    Allah Ta’ala berfirman:

    أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لَا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ

    “Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.”

     (az-Zukhruf: 80)

    Demikian juga, Allah Ta’ala berfirman:

    إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ – مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

    “(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya kecuali ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”

    (Qaf: 17—18)

     

    Asy-Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahhullah berkata, “Malaikat yang di sebelah kanan seorang hamba mencatat amalan-amalan yang baik, sedangkan yang di sebelah kirinya mencatat amalan-amalan yang buruk.” (Tafsir Karimir Rahman hlm. 805)

    Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam meriwayatkan dari Allah ‘Azza wajalla yang berfirman,

    إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِسَيِّئَةٍ فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا سَيِّئَةً، وَإِذَا هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا عَشْرًا

    “Apabila hamba-Ku berniat melakukan satu amalan yang jelek, janganlah kalian menulisnya. Apabila dia melakukannya, tulislah satu kejelekan. Apabila dia berniat melakukan satu kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, tulislah (baginya) satu kebaikan. Apabila dia melakukannya tulislah (baginya) sepuluh kebaikan.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu)

    Dalam riwayat yang lainnya, “Sampai tujuh ratus kebaikan.”

    Para malaikat pencatat amalan tersebut akan melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan tidak akan mendurhakai-Nya. Ini adalah sifat para malaikat yang mulia, sebagaimana dalam firman-Nya:

    يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

    “(Mereka) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

    Jika demikian, di mana tempat kita bersembunyi? Kapan kita bisa melakukan satu perbuatan yang mereka tidak mengetahui, padahal Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat, dan Maha Mendengar? Demikian juga, para malaikat pencatat amal senantiasa mengikuti kita di mana pun berada dan selalu siap mencatat amalan kita?

    Allah Ta’ala berfirman:

    يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

     “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak meridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.”

    (an-Nisa: 108)

     

    Asy-Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Kalian harus senantiasa mengevaluasi semua amal kalian karena Allah Ta’ala sungguh telah memerintah para malaikat pencatat amal yang mulia untuk mencatat ucapan dan perbuatan kalian, dalam keadaan mereka mengetahui perbuatan-perbuatan kalian itu, termasuk amalan hati dan anggota badan. Sudah sepantasnya kalian menghormati dan memuliakan mereka.” (Tafsir Karim ar-Rahman hlm. 914)

    Pembagian Kitab Catatan Amalan

    Di antara peristiwa mencekam yang akan terjadi pada hari kiamat adalah dibuka dan dibagikannya kitab-kitab catatan amal kepada para pemiliknya. Pembagian ini adalah penentu, apakah seorang hamba termasuk golongan yang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki lagi abadi, atau justru mendapatkan kecelakaan dan kesengsaraan yang hakiki serta abadi pula.

    Allah Ta’ala berfirman:

    وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا

     “Tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. ‘Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu’.”

    (al-Isra’: 14)

     

    Allah Ta’ala juga berfirman:

    يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

    “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa diberi kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.”

    (al-Isra’: 71)

    Yang dimaksud dengan “كِتَابَهُ” adalah kitab-kitab catatan amalan mereka. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Mujahid, Abul ‘Aliyah, al-Hasan al-Basri, dan ad-Dhahhak rahimahumullah.

    Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pendapat ini adalah yang paling kuat/benar.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/49)

    Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Setiap orang akan diberi kitab catatan amalnya. Kitab itu penuh dengan catatan.Dia akan membacanya sendiri. Orang yang beriman diberi kitab catatan amalnya dan diterima dengan tangan kanannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ

    Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” (al-Haqqah: 19)

    Si mukmin akan bahagia. Ia pun senang ketika orang-orang melihat kitab catatan amalnya karena dia sangat bahagia.

    Allah Ta’ala menceritakan hamba-Nya yang beriman di dalam kitab-Nya:

    إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ

    “Sesungguhnya aku yakin bahwa aku akan menemui hisab terhadap diriku.” (al-Haqqah: 20)

    Maksudnya, “Aku beriman dan yakin bahwa aku akan menemui hari hisab, maka aku mempersiapkan diri untuk menghadapi hari itu dengan amal-amal saleh.”

    Allah Ta’ala berfirman:

    فَهُوَ فِى عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ – فِى جَنَّةٍ عَالِيَةٍ – قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ – كُلُواْ وَاشْرَبُواْ هَنِيئَاً بِمَآ أَسْلَفْتُمْ فِى الاٌّيَّامِ الْخَالِيَةِ

    Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan nikmat disebabkan amalan yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (al-Haqqah: 21—24)

    Adapun orang kafir, dia akan diberi kitab catatan amalnya dan diterima dengan tangan kiri, dari balik punggungnya, wal ‘iyadzu billah. Firman-Nya:

    وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ

    Dan adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini).” (al-Haqqah: 25)

    Dia pun berangan-angan seandainya dia tidak diberi kitab catatan amalnya dan tidak diperlihatkan kitab tersebut di hadapannya karena dia malu dan kecewa. Firman-Nya:

    وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ – يلَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ

    “Aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.” (al-Haqqah: 26—27)

    Maknanya, “Aduhai, kiranya aku tidak dibangkitkan. Aduhai, kematian itu akhir dari (segala urusan).”

    Allah Ta’ala memberitakan ucapannya:

    “Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku.” (Allah berfirman), “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.” (al-Haqqah: 28—32)

    Semua ini terjadi setelah diterimanya kitab catatan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri. (Syarah Lum’atul I’tiqad hlm. 206)

    Cara Menerima Kitab Catatan Amal

    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Yang tampak dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, umat manusia akan mengambil/menerima kitab catatan amal mereka dengan tiga cara: dengan tangan kanan, dengan tangan kiri, dan dari balik punggung.”

    Akan tetapi, yang tampak, ini adalah perbedaan sifat saja. Orang yang menerima kitab catatan amal dari balik punggungnya ialah orang yang menerima kitab catatan amalnya dengan tangan kirinya. Artinya, dia menerima dengan tangan kiri sembari menjulurkannya ke arah belakang punggungnya karena ia termasuk golongan kiri. Adapun ia mengambil kitab catatan amal itu balik punggungnya karena ketika di dunia, Kitabullah mendatanginya namun dia membalikkan punggungnya. Jadi, adalah adil baginya jika kitab catatan amal diletakkan di balik punggungnya pada hari kiamat. (Syarah Aqidah Wasithiyah, 2/150—151)

    Hal-Hal yang Menghapus Lembaran-Lembaran Kelam

    Dengan rahmat-Nya yang sempurna, Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang telah melakukan berbagai kemaksiatan dan kezaliman, sebesar dan sebanyak apa pun, untuk berputus asa dari rahmat dan ampunan-Nya. Berbagai catatan kelam bisa terhapuskan dengan sebab rahmat Allah Ta’ala.

    Allah Ta’ala berfirman:

    قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

    “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”(az-Zumar: 53)

    Rasulullah shallallahu’alaihi wasallambersabda:

    إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

    “Sungguh, Allah ‘Azza wajalla membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang berbuat kejelekan di siang hari mau bertaubat. Dia juga membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat kejelekan di malam hari mau bertaubat; hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)

    Adapun amalan-amalan yang dapat menghapus catatan-catatan kelam adalah sebagai berikut.

    1. Tauhid yang bersih dari syirik dan kotoran lainnya

    Allah Ta’ala berfirman:

    إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

    “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisa: 116)

    Allah ‘Azza wajalla juga berfirman di dalam hadits qudsi:

    يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

    “Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku membawa dosa sebesar bumi kemudian engkau menemui-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik terhadap-Ku, sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. at-Tirmidzi dari Anas bin Malik)

    2. Taubat dan istighfar

    Allah Ta’ala berfirman setelah menyebutkan beberapa dosa besar dan ancamannya:

    إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

    “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqan: 70)

    Rasulullah shallallahu’alaihi wasallambersabda:

    وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ

    “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau saja kalian tidak berbuat dosa, sungguh Allah Ta’ala akan membinasakan kalian dan mendatangkan kaum lainnya yang mereka berbuat dosa kemudian mereka memohon ampun kepada Allah ‘Azza wajalla dan Dia pun mengampuni mereka.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu)

    3. Amalan-amalan kebaikan, seperti shalat, puasa, sedekah, dan lain-lain

    Allah Ta’ala berfirman:

    وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

    “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114)

    Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

    الصَّلَوَاتِ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ

    “Di antara shalat lima waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan ke bulan Ramadhan berikutnya, akan menjadi penghapus dosa-dosa di antaranya selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu)

    4. Menutupi aurat atau kejelekan saudaranya

    Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

    وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

    “Barang siapa menutupi aurat atau kejelekan saudaranya (muslim), niscaya Allah Ta’ala akan menutupi kejelekannya nanti pada hari kiamat.”

    Akhirnya, penulis mengatakan,

    اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي

    “Ya Allah, tutupilah aurat atau kejelekan-kejelekan kami, dan berilah rasa aman dari seluruh rasa takut kami.

    Bekal Wajib untuk Membahas Takdir

    Maratibul Qadar (Tingkatan Beriman kepada Takdir)

    Para ulama telah menjelaskan tentang wajibnya meyakini tingkatan-tingkatan beriman kepada takdir. Tanpa meyakini keempat hal tersebut, keimanan kepada takdir tidaklah sempurna.

    Beriman kepada takdir Allah Ta’ala memiliki empat tingkatan.

    1. Beriman bahwa Allah Maha Mengetahui, dengan ilmu-Nya yang azali (terdahulu) dan abadi, tentang seluruh yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, kecil atau besar, yang lahir atau batin, perbuatan-perbuatan-Nya, dan perbuatan-perbuatan makhluk-Nya.

    2. Beriman bahwa Allah Ta’ala telah menulis takdir atas segala sesuatu, dalam Lauh Mahfuzh, sampai saat kebangkitan hari kiamat. Tidak ada sebuah kejadian pun, yang telah atau akan terjadi, melainkan pasti telah tertulis dan telah ditentukan takdirnya, sebelum terjadinya.

    Dalil kedua tingkatan di atas adalah ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

    Adapun dalil dari Al-Qur’an, di antaranya;

    أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

    “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.”

    (al-Hajj: 70)

    وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

    “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya selain Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, serta tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’am: 59)

    Adapun dalil dari hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di antaranya adalah sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam:

    كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ. قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

    “Allah Ta’ala telah mencatat takdir seluruh makhluk, lima puluh ribu tahun sebelum Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi.” Beliau berkata, “Arsy Allah Ta’ala berada di atas air.” (HR. Muslim no. 2653 dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-’Ash)

    Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari sahabat Imran bin Hushain radhiallahu’anhu (no. 7418), Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

    كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ كُلَّ شَيْءٍ

    “Allah Ta’ala ada, tidak ada sesuatu pun sebelumnya, dan ‘Arsy Allah Ta’ala berada di atas air. Kemudian, Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi, serta mencatat tentang segala sesuatu dalam adz-Dzikr.”

     

    3. Beriman bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat masyi’ah (kehendak) yang mencakup segalanya.

    Tidak ada sesuatu yang terjadi atau yang tidak terjadi, baik besar maupun kecil, lahir maupun batin, di langit maupun di bumi, melainkan dengan masyi’ah Allah ‘azza wajalla, apakah tentang perbuatan-perbuatan-Nya atau perbuatan-perbuatan makhluk-Nya.

    4. Beriman bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat khalq (mencipta).

    Allah Ta’ala adalah Dzat yang menciptakan segalanya, besar atau kecil, lahir atau batin. Penciptaan Allah Ta’ala meliputi zat seluruh makhluk, sifat-sifat mereka, serta apa yang mereka perbuat, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun hasil dan pengaruh perbuatan makhluk.

    Dalil tingkatan ketiga dan keempat di atas adalah firman Allah Ta’ala:

    اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

    “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

    (az-Zumar: 62)

    الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

    “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(-Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”

    (al-Furqan: 2)

    وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

    “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”

    (ash-Shaffat: 96)

    Allah Ta’ala tidak menciptakan sesuatu melainkan berdasarkan masyi’ah-Nya. Hal ini karena tidak ada yang dapat memaksa-Nya, dengan kesempurnaan kerajaan dan kekuasaan-Nya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan perbuatan-Nya yang berdasarkan masyi’ah-Nya.

    يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

    “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)

    اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ

    “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).”

    (ar-Ra’d: 26)

     

    Allah Ta’ala menerangkan bahwa perbuatan makhluk-Nya juga sesuai dengan masyi’ah-Nya.

    لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَـلَمِينَ

    “(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) melainkan jika dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”

    (at-Takwir: 28—29)

    وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ

    “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan. Akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”

     (al-Baqarah 253)

    (Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 103—104)

    Iradah Allah Ta’ala (Kehendak Allah Ta’ala)

    Di antara sifat-sifat Allah Ta’ala yang tinggi dan suci adalah iradah (memiliki kehendak). Dengan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, para ulama menyimpulkan bahwa iradah Allah Ta’ala ada dua macam.

    1. Iradah kauniyah qadariyah (kehendak Allah yang terkait dengan ketetapan alam dan takdir-Nya)

    Segala yang terjadi di alam semesta ini, termasuk beriman atau kafirnya seseorang, semua terjadi dengan kehendak dan ketetapan Allah. Iradah ini disebut juga dengan masyi’ah (kehendak).

    Tidak ada satu pun makhluk yang dapat lepas dari iradah jenis ini. Setiap muslim atau kafir berada di bawah iradah ini. Ketaatan dan kemaksiatan, seluruhnya dengan masyi’ah Allah Ta’ala dan iradah-Nya.

    Allah Ta’ala berfirman:

    وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

    “Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

     (ar-Ra’d: 11)

    فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

    “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberinya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah ‘azza wajallaesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa atas orang-orang yang tidak beriman.”

    (al-An’am: 125)

    Sifat-sifat iradah kauniyah adalah sebagai berikut.

    • Iradah kauniyah ada yang dicintai-Nya, ada juga yang tidak. Yaag dicintai-Nya misalnya keimanan seseorang, sedangkan yang tidak dicintai-Nya misalnya kekafiran seseorang.

    • Walaupun sebagian iradah kauniyah tidak dicintai oleh Allah, namun terkadang ada kebaikan yang diinginkan di baliknya. Misalnya, penciptaan Iblis dan seluruh keburukan. Tujuannya adalah memunculkan banyak kebaikan, seperti taubat dan istighfar setelah terjatuh dalam godaan Iblis, serta mujahadah (bersungguh-sungguh) melawan godaannya.

    • Iradah kauniyah pasti terjadi.

    • Iradah kauniyah terkait dengan rububiyah Allah Ta’ala. Artinya, segala sesuatu yang terjadi terkait dengan pengaturan Allah terhadap alam ini. Pengaturan ini merupakan sifat Allah sebagai Rabb semesta alam.

    2. Iradah syar’iyah diniyah

    Artinya, Allah mencintai amalan syariat yang Dia kehendaki untuk diamalkan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Iradah ini disebut juga dengan mahabbah (kecintaan). Iradah ini mengandung cinta dan ridha Allah Ta’ala terhadap amalan-amalan tersebut.

    Contohnya, Allah Ta’ala berfirman:

    “Dan Allah hendak menerima taubatmu ….” (an-Nisa’: 27)

    Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menginginkan agar seseorang bertaubat dari dosa-dosanya, yang taubat ini merupakan sesuatu yang dicintai-Nya.Dengan demikian, taubat termasuk dalam iradah syar’iyah diniyah.

    Sifat-sifat iradah syar’iyah adalah sebagai berikut.

    • Iradah syar’iyah seluruhnya dicintai dan diridhai-Nya.

    • Iradah syar’iyah memang diinginkan zatnya, seperti bentuk-bentuk ketaatan. Allah Ta’ala mencintainya, mensyariatkan, dan meridhainya secara zatnya.

    • Iradah syar’iyah ada yang terjadi, ada pula yang tidak. Ketika Allah menghendaki agar manusia taat, ada yang melakukannya dan ada yang tidak.

    Jika iradah syar’iyah pasti terjadi, tentu umat manusia akan menjadi muslim seluruhnya.

    • Iradah syar’iyah terkait dengan uluhiyah Allah Ta’ala. Artinya, ibadah-ibadah yang disyariatkan merupakan bentuk penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah.

    Hubungan Iradah Kauniyah & Iradah Syar’iyah

    Iradah kauniyah dan syar’iyah terwujud sekaligus pada seorang hamba yang berbuat ketaatan. Orang yang melaksanakan shalat, misalnya. Shalat adalah sesuatu yang dicintai Allah Ta’ala, maka disebut syar’iyah. Jika dia benar-benar menegakkan shalat, disebut kauniyah (karena benar-benar terjadi).

    Iradah kauniyah berdiri sendiri tanpa iradah syar’iyah tergambar pada diri orang kafir. Kekafirannya adalah kauniyah karena benar-benar terjadi. Namun, kekafirannya itu bukan iradah syar’iyah karena kekafiran tidak dicintai oleh Allah Ta’ala.

    Iradah syar’iyah berdiri sendiri tanpa iradah kauniyah tergambar pada keimanan, yang tidak terjadi orang kafir. Keimanan adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala, maka disebut iradah syar’iyah. Namun tidak terjadi karena dia kafir, maka bukan iradah kauniyah.

    “Barang siapa mampu membedakan antara iradah syar’iyah dengan iradah kauniyah, ia pasti akan selamat dari banyak kerancuan yang telah menggelincirkan kaki dan menyesatkan pikiran. Barang siapa memerhatikan amalan hamba dengan kedua mata ini, ia akan mampu melihat. Barang siapa memerhatikan syariat tanpa takdir atau sebaliknya, maka ia buta.” (al-Iman bil Qadha’, Muhammad bin Ibrahim, hlm. 82—84)

    Takdir Baik dan Takdir Buruk

    Soal: Kita meyakini keberadaan takdir buruk. Apakah tidak bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Keburukan tidak (dinisbahkan) kepada-Nya”?

    Jawab: Maksud takdir buruk tidaklah terkait dengan perbuatan Allah Ta’ala dalam hal menentukan takdir. Namun, terkait dengan hal-hal yang ditakdirkan. Sama halnya dengan perbedaan khalq (perbuatan Allah Ta’ala mencipta) dan makhluq (hal-hal yang diciptakan oleh Allah Ta’ala).

    Marilah kita mengambil sebuah contoh. Allah Ta’ala berfirman:

    “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)

    Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memberikan penjelasan mengenai kerusakan yang terjadi, sebab dan tujuannya. Kerusakan adalah sesuatu yang buruk, sebab terjadinya adalah ulah tangan manusia. Tujuannya ialah “Supaya Allah Ta’ala merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

    Oleh karena itu, bentuk kerusakan yang terjadi, baik di daratan maupun di lautan, mengandung hikmah. Pada asalnya, kerusakan tersebut adalah sesuatu yang buruk. Namun, ia memiliki hikmah yang sangat besar. Dengan demikian, adanya hikmah tersebut menyebabkan takdir “munculnya kerusakan” menjadi sesuatu yang baik.

    Demikian halnya kemaksiatan dan kekufuran. Hal tersebut merupakan takdir dari Allah Ta’ala. Namun, keduanya memiliki hikmah yang sungguh besar. Andai tidak terjadi kemaksiatan dan kekufuran, syariat Islam tidak akan terwujud. Jika saja tidak muncul kemaksiatan dan kekufuran, penciptaan manusia akan menjadi sia-sia.

    (Syarah al-Wasithiyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 542—543)

    Sumber : Majalah asy Syari’ah edisi 071

    Penulis : Al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

    Makanan dan Minuman Para Penduduk Neraka

    Betapa sangat banyak pengkabaran Allah dalam Alqur’an tentang makanan penduduk neraka, kengerian atasnya tidak pernah ditemukan dan dirasakan ketika di dunia. Beberapa dalil ayat Alqur’an yang mengabarkan tentang makanan penduduk an Naar :

    Allah Ta’ala berfirman :

    إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ – طَعَامُ الاٌّثِيمِ – كَالْمُهْلِ يَغْلِى فِى الْبُطُونِ – كَغَلْىِ الْحَمِيمِ

    Sesungguhnya pohon zaqqqum itu makanan orang yang banyak berdosa. (ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih didalam perut, seperti mendidihnya air yang amat panas.”

    (Ad-Dukhan : 43-46)

    Allah Ta’ala juga berfirman :

    أَذَلِكَ خَيْرٌ نُّزُلاً أَمْ شَجَرَةُ الزَّقُّومِ – إِنَّا جَعَلْنَـهَا فِتْنَةً لِّلظَّـلِمِينَ – إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِى أَصْلِ الْجَحِيمِ – طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَـطِينِ – فَإِنَّهُمْ لاّكِلُونَ مِنْهَا فَمَالِئُونَ مِنْهَا الْبُطُونَ – ثُمَّ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْهَا لَشَوْباً مِنْ حَمِيمٍ – ثُمَّ إِنَّ مَرْجِعَهُمْ لإِلَى الْجَحِيمِ

    “(Makanan surga) itulah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum. Sesungguhnya kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim. Sesungguhnya ia adalah sebatang pohon yang keluar dai dasar neraka yang menyala. Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan. Maka sesungguhnya mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu, maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum itu. Kemudian sesudah makan buah zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas. Kemudian sesungguhnya tempat kembali mereka benar-benar ke neraka Jahim.”

    (as-Shafat:62-68)

    Allah ta’ala berfirman :

    ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا الضَّآلُّونَ الْمُكَذِّبُونَ – لاّكِلُونَ مِن شَجَرٍ مِّن زَقُّومٍ – فَمَالِـُونَ مِنْهَا الْبُطُونَ – فَشَـرِبُونَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيمِ – فَشَـرِبُونَ شُرْبَ الْهِيمِ – هَـذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّينِ – نَحْنُ خَلَقْنَـكُمْ فَلَوْلاَ تُصَدِّقُونَ

    “Kemudian sesungguhnya kalian, wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon zaqqum dan akan memenuhi perut kalian dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu akan seperti unta yang sangat haus minum. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan. Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan?”

    (al-Waqi’ah:51-57)

    Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam membaca ayat ini :

    يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

    “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”

    (Ali Imran: 102)

    Ejekan Abu Jahal untuk mendustakan nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang Zaqqum

    Lalu beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

    وَلَوْ أَنَّ قَطْرَةً مِنَ الزَّقُّومِ قُطِرَتْ لَأَمَرَّتْ عَلى أَهْلِ الْأرْضِ عِيشَتَهُمْ، فَكَيْفَ بِمَنْ لَيْسَ لَهُ طَعَامٌ إِلَّا الزَّقُّومُ؟

    “Seandainya setetes zaqqum menetes di dunia niscaya ia akan merusak kehidupan penduduk bumi. Lalu bagaimana jadinya dengan orang yang menjadikan pohon ini sebagai makanannya?!”

    At-Tirmidzi berkata, “(Hadits ini berderajat) shahih.

    Ibnu Ishaq berkata bahwa telah mengabarkan kepadanya hakim ibnu Hakim dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan pohon zaqqum, Abu jahal berkata, ‘Muhammad telah menakut-nakuti kita dengannya. Wahai orang-orang Quraisy, tahukah kalian apa pohon zaqqum yang disebut-sebut Muhammad untuk menakut-nakuti kalian?’

    Mereka menjawab. ‘Tidak (kami tidak mengetahuinya)’ iIa berkata, ‘(Ia adalah) kurma ajwa yang ditambahi keju. Demi Allah, kalau aku mendapatinya, sungguh aku benar-benar akan mengoyak-oyaknya.’ Perihal kejadian ini Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya :

    إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ – طَعَامُ الاٌّثِيمِ

    Sesungguhnya pohon zaqqqum itu makanan orang yang banyak berdosa.”

    (Ad-Dukhan : 43-44)

    Maksudnya, (gambaran pohon zaqqum ini) tidaklah seperti yang engkau (Abu Jahal) katakana, dan Allah subhanahu wata’ala pun menurunkan firman-Nya :

    وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا

    “Dan pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (al-Isra’:60)1

    Dari ma’mar dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala :

    إِنَّا جَعَلْنَـهَا فِتْنَةً لِّلظَّـلِمِينَ

    “Sesungguhnya kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai fitnah bagi orang-orang yang zalim.” (as-Shafat;63)

     

    Abdur Razaq2 berkata, “Semakin bertambahlah pendustaan mereka ketika dikabarkan kepada mereka bahwa di dalam neraka itu ada sebuah pohon. Dia (Abu Jahal) berkata, ‘Dia telah mengabarkan bahwa di dalam neraka ada sebuah pohon, sedangkan pohon itu dapat terbakar api.’ Maka nabi shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan kepada mereka bahwa makanan pohon itu berasal dari api.”

    Al-Qur’an telah mengabarkan bahwa mereka akan memakan pohon zaqqum, sampai memenuhi perut-perut mereka, lalu mendidihlah pohon zaqqum itu di dalam perut-perut mereka sebagaimana mendidihnya air yang sangat panas. Kemudian setelah mereka memakannya, mereka meminum air yang sangat panas seperti minumnya unta yang sangat haus.

    Allah ta’ala berfirman :

    ثُمَّ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْهَا لَشَوْباً مِنْ حَمِيم

    Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas.” (ash-Shafat : 67)

     

    Firman Allah ‘azza wajalla ini menunjukkan bahwa air yang sangat panas akan bercampur dengan zaqqum yang ada di dalam perut-perut mereka, maka jadilah makanan dan minuman itu bercampur di dalamnya.

    لَشَوْباً مِنْ حَمِيم  Qatadah berkata, “Maksudnya adalah campuran dari air yang sangat panas.”3

    Allah subhanahu wata’ala berfirman :

    ثُمَّ إِنَّ مَرْجِعَهُمْ لإِلَى الْجَحِيمِ

    “kemudian sesungguhnya tempat kembali mereka benar-benar ke neraka Jahim.” (ash-Shafat:68) Yaitu setelah mereka memakan zaqqum  dan mereka meminum air yang sangat panas. Hal ini menunjukkan bahwa air yang sangat panas itu keluar dari neraka, lalu mereka meminumnya sebagaimana sekawanan unta meminum air. Kemudian setelah itu mereka dikembalikan lagi ke neraka Jahim. Dan yang menunjukkan hal ini pun firman Allah Ta’ala ini :

    هَـذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِى يُكَذّبُ بِهَا الْمُجْرِمُونَ- يَطُوفُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَمِيمٍ ءانٍ

    “Inilah neraka Jahannam yang didustakan oleh orang-orang berdosa. Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air mendidih yang memuncak panasnya.” (ar Rahman : 43-44)

    Beberapa jenis makanan dan akibat yang dirasakannya

    Allah ‘azza wajalla berfirman :

    إِنَّ لَدَيْنَآ أَنكَالاً وَجَحِيماً – وَطَعَاماً ذَا غُصَّةٍ وَعَذَاباً أَلِيماً

    Karena sesungguhnya pada sisi kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala. Dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.

     (Al-Muzammil 12-13)

     

    Allah subhanahu wata’ala berfirman :

    لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلاَّ مِن ضَرِيعٍ – لاَّ يُسْمِنُ وَلاَ يُغْنِى مِن جُوعٍ

    “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.”

     (al-Ghasiyah: 6-7)

    Ibnu Abbas berkata  وَطَعَاماً ذَا غُصَّةٍ“Yaitu duri yang menyumbat di kerongkongan, tidak masuk, tidak pula keluar.”4

    Qatadah berkata مِن ضَرِيعٍ “Yaitu makanan yang paling kering dan paling busuk.”

    Sa’id bin Jubair berkata, “(makanan) dari batu.”

    Allah Ta’ala berfirman :

    فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَـهُنَا حَمِيمٌ – وَلاَ طَعَامٌ إِلاَّ مِنْ غِسْلِينٍ – لاَّ يَأْكُلُهُ إِلاَّ الْخَـطِئُونَ

    “Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.

    Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.”

    (al-Haqqah: 35-37)

     Allah Ta’ala berfirman :

    إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

    “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(an-Nisa:10)

     

    Allah Ta’ala berfirman :

    فَشَـرِبُونَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيمِ – فَشَـرِبُونَ شُرْبَ الْهِيمِ

    “Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas.Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum.” (al-Waqi’ah: 54—55)

    Allah Ta’ala berfirman :

    وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا

    “Mereka diberi air minum yang mendidih sehingga memotong usus-ususnya.” (Muhammad:15)

    Allah Ta’ala berfirman :

    لاَّ يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْداً وَلاَ شَرَاباً – إِلاَّ حَمِيماً وَغَسَّاقاً

    “Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak  (pula mendapat) minuman selain air yang mendidih dan nanah.” (an-Naba’:24-25)

    Allah Ta’ala berfirman :

    هَـذَا فَلْيَذُوقُوهُ حَمِيمٌ وَغَسَّاقٌ – وَءَاخَرُ مِن شَكْلِهِ أَزْوَجٌ

    “Inilah (azab neraka), biarlah mereka merasakannya, (minuman mereka)air yang sangat panas dan air sangat dingin. Dan azab yang lain yang serupa itu berbagai macam.” (Shaad:57-58)

    Allah Ta’ala berfirman :

    وَيُسْقَى مِن مَّآءٍ صَدِيدٍ – يَتَجَرَّعُهُ وَلاَ يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِن وَرَآئِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ

    “Dia akan diberi minuman dengan air nanah, diminumlah air nanah itu dan hamper dia tidak bisa.” (Ibrahim: 16-17)

    Allah Ta’ala berfirman :

    وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا

    “Dan jika mereka meminta minum niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (al-kahfi:29)

    Ringkasnya, minuman para penghuni ada empat macam :

    1.      Al-hamim,Yaitu air yang sangat panas yang benar-benar memuncak panasnya.

    Dari Ibnu Zaid, dia berkata, “Hamim (air yang sangat panas) akan dicampur dengan nanah yang dikeluarkan  mata-mata mereka dan juga dicampur dengan campuran nanah dan darah yang keluar dari tubuh-tubuh mereka.”5

    Syubaib berkata dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma “(حَمِيمٍ ءانٍ) yaitu air yang benar-benar mendidih.”

    Dari Qatadah, “Yaitu air yang telah didihkan sejak Allah subhanahu wata’ala menciptakan langit-langit dan bumi. Allah Ta’ala berfirman :

    تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ

    “Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.” (al-Ghasiyah)

    Mujahid berkata, “Telah kelewatan panasnya dan tiba waktu meminumnya.”

    2.      Ghasaq, yaitu air yang sangat dingin yang tidak dapat diminum karena demikian dinginnya.

    Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dalam suatu riwayat darinya dan juga Mujahid telah menyatakan dengan tegas bahwa ghasaq di sini adalah air yang sangat dingin sekali. Hal ini telah ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, Allah berfirman :

    لاَّ يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْداً وَلاَ شَرَاباً – إِلاَّ حَمِيماً وَغَسَّاقاً

    “Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak  (pula mendapat) minuman selain air yang mendidih dan nanah.” (an-Naba’:24-25)

    Allah Ta’ala telah mengecualikan ghasaq dari kesejukan serta (mengecualikan) air yang sangat panas dari minuman.

    Ada pula yang mengatakan bahwa ghasaq adalah air dingin yang berbau busuk. Kata ghasaq ini bukan berasal dari bahasa Arab. Ada pula yang mengatkan, bahasa Arab. Kata ini wazannya fa’al berasal dari kata ghasaqa yagsiqu. Al-ghaasiq adalah malam. Malam dinamai ghaasiq karena dinginnya udara waktu itu.

    3.      As-Shadiid(nanah) [ia adalah cairan yang menyekat antara daging dan kulit. Kata ini dijadikan perumpamaan bagi makanan para penduduk neraka].

    Mujahid rahimahullah berkata tentang firman Allah Ta’ala :

     

    وَيُسْقَى مِن مَّآءٍ صَدِيد

    Dia akan diberi minuman dengan air nanah, “yaitu nanah dan darah.”6

    Qatadah berkata, “mengalir dari tempat antara daging dan kulitny.”7

    Muslim telah mengeluarkan dalam kitab shahih-nya8 dari nabi shallallahu’alaihi wasallam :

    إن على الله، عز وجل عهدا، لمن يشرب المسكر، أن يسقيه من طينة الخبال قالوا: يا رسول الله! وما طينة الخبال؟ قال عرق أهل النار. أو عصارة أهل النار

    “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla memiliki janji bagi orang yang meminum minuman-minuman yang memabukkan untuk member minum ‘thin al-khabal’ kepadanya.” Mereka (para sahabat bertanya), “Apa thin-alkhabal itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Keringat atau cairan dari perasan para penduduk neraka.”

    At Tirmidzi telah mengeluarkan8 dari hadits Abdullah ibnu umar radhiallahu’anhuma, hadits yang semisalnya dari nabi shallallahu’alaihi wasallam, hanya saja dikatakan oleh bliau dari sungai Khobal. Ada yang bertanya, wahai Abu Abdirrahman, apakah sungai Khobal itu?” ia mengatakan, “(yaitu) sungai dari nanahnya para penduduk neraka.”

    At-Tirmidzi berkata, “(Hadits ini)hasan.”

    Abu Daud telah mengeluarkan9 dari hadits Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam hadits yang semisalnya.Beliau bersabda, “Dari Thinatul Khabal.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah thinatul khabal itu?” Beliau menjawab, “nanah para penduduk neraka.”

    Dari Abdullah ibnu Amr radhiallahu’anhuma, di berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berssabda:”

    من حالت شفاعته دون حدٍّ من حدود اللّه، فقد ضادَّ اللّه، ومن خاصم في باطلٍ وهو يعلمه لم يزل في سخط اللّه حتى ينزع عنه، ومن قال في مؤمنٍ ما ليس فيه أسكنه اللّه ردغة الخبال حتى يخرج مما قال

    “Barangsiapa mendapatkan pembelaanku pada selain batas dari batas-batas Allah Ta’ala, maka sungguh ia telah melawan Allah Ta’ala. Barangsiapa yang bertengkar dalam kebatilan, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia akan terus meninggalkannya. Barangsiapa yang membicarakan tentang diri seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak ada padanya, maka Allah Ta’ala akan menempatkannya di 888 al-Khabal hingga ia keluar dari apa yang ia katakana.” (Dikeluarkan oleh Ahmad (2/276) dan Abu Dawud (3597))

    4.      Air seperti besi membara. Air ini menghimpun segala sifat-sifat yang mengerikan. Warnanya hitam, berbau busuk, kental lagi sangat panas.

    Pada dahulu ada seorang yang berjalan, lalu ia melewati pohon anggur di sebuah desa bernama Thin Nabad, sepertinya di tempat itu biasa dibuat minum-minuman keras. Maka ia bersenandung,

     

    “Di Thin nabad terdapat sebatang pohon anggur,

    Tidaklah aku melewatinya kecuali aku merasa heran kepada

    Orang-orang yang meminum air.”

    Maka ada seorang yang menyahut, “Di dalam neraka Jahannam ada air yang diteguk oleh kerongkongan,

    Maka ia tetap berada di dalam usus yang ada di dalam perut.”

     

    1Sanadnya hasan,  telah disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam as Siroh dan dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam al-ba’ats (545). Ibnu Ishaq dalam kesempatan ini telah menyatakan dengan jelas bahwa ia telah mendengarkan hadits itu secara langsung, sehingga hadits ini berderajat hasan.

    2Sanadnya shahih dan ia sebagai tafsir untuk ayat ini, demikian pula Ath Thabari telah mengeluarkannya (riwayat ini)

    3Shahih dikeluarkan ole ath-thabari ketika menafsirkan ayat ini.

    4Hasan dikeluarkan ole hath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini, dan al-Hakim (502)

    5Shahih dikeluarkan oleh ath Thabari ketika menafsirkan surat ash-Shafat ayat 67, ia berkata, “Al-hamim adalah air yang sangat panas, yaitu air yang dipanaskan dan memuncak panasnya.” Atsar-atsar ini tsabit sampai kepada orang-orang yang menyatakannya, dikeluarkan oleh ath_thabari dalam tafsir surat ar-Rahman ayat 24

    6shahih dikeluarkan ath Thabari dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini sanadnya shahih.

    7shahih dikeluarkan ath Thabari dalam tafsirnya

    8 Shahih dikeluarkan at Tirmidzi no (1863) dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab (5191). Sanad al-Baihaqi berderajat shahih.

    9 Shahih lighairihi, dikeluarkan oleh Abu Dawud nomer (3680)

    Disalin dari :

    Kitab : As Shohiihul Mukhtar minat takhwiifu minannaar lil haavidz Ibnu Rajab_Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Hasan Ar Razihi

    Penerjemah : Abu Abdillah Salim

    Judul Indonesia : Berdialog Dengan Neraka

    Penerbit : Pustaka Salwa

    *Dengan sedikit tambahan